Menilai manusia adalah keniscayaan. Itulah bentuk ikhtiar manusiawi yang bisa dilakukan. Namun begitu, ada sebagian orang yang berfikir dan berpandangan bahwa mestinya yang berhak menilai seseorang hanyalah Tuhan sang pencipta manusia tersebut. Tepat sekali!! Namun kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang penilaian Tuhan terhadap seseorang. Tak ada wahyu lagi yang turun setelah Nabi Muhammad SAW. Sikap seperti ini cenderung membuat orang untuk pasif dan enggan menerima penilaian atas diri seseorang meskipun penilaian itu dilakukan oleh banyak orang dan berdasarkan data temuan yang akurat. Padahal pada saat yang sama dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa nilai dari Tuhan terhadap orang tersebut. Selanjutnya, tanpa disadari dan akibat ketidaktahuannya, akan mendorongnya untuk memunculkan pembenaran demi pembenaran atas pilihan tindakan yang sebenarnya sarat akan muatan subyektifitas dirinya dalam menilai dan didominasi oleh perasaan (bukan lagi oleh logika/nalar yang obyektif). Ujung-ujungnya, itulah cara yang dia pilih dalam rangka memberi nilai. Suatu cara menilai yang menutup semua pandangan dan masukan dari luar dirinya. Dalam situasi seperti itu, apakah bisa dijamin nyawa keadilan dan rasionalitas masih tertinggal disana?
Dalam lingkup dakwah, khususnya dalam suatu halaqoh (yang tentu saja di dalamnya terdiri dari manusia-manusia), seorang da’i murabbi memerlukan proses taqwim dakwah (penilaian atas diri seseorang sebagai evaluasi dakwah) secara berkesinambungan terhadap para mutarobbi-nya ataupun terhadap orang lain yang punya kaitan masalah dengan mutarobbi-nya, dalam rangka komitmen Islam secara umum. Proses taqwim ini memiliki dua bentuk yaitu jarh (menilai sisi kelemahan) atau ta’dil (menilai sisi kebaikan), atau bahkan terkadang mencakup keduanya, yang disampaikan secara garis besar atau secara rinci. Proses taqwim bertujuan untuk mengetahui ahliyyah (kapabilitas) seseorang. Proses ini juga bertujuan untuk mengevaluasi pencapaian muwashafat pada diri mutarobbi ataupun orang lain yang punya kaitan masalah dengan mutarobbi, misalnya dalam hal memilih pasangan yang sesuai untuk mutarobbi; atau misalnya ketika akan memilih seseorang untuk didudukkan pada posisi jabatan tertentu.
Untuk mengetahui tingkat ahliyyah (kapabilitas) seseorang, diperlukan adanya proses taqwim yang serius, jujur, obyektif, jauh dari ifrath (terlalu memudahkan) dan tafrith (terlalu menyulitkan), dan memiliki tingkat akurasi yang baik. Karenanya, peran pihak yang lebih dekat dan tahu kepada seseorang yang sedang dievaluasi dan diseleksi harus lebih diutamakan dibandingkan dengan pihak yang jauh darinya. Penilaian itu hendaknya dilakukan secara jama’i melalui mekanisme syura, agar tingkat akurasi penilaiannya lebih terjamin.
Landasan syar’i
1. Al Qur’an Al Karim.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S An-Nisa’: 58)
2. Sunnah Rasulullah saw.
Jika suatu urusan diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran)-nya. (H.R Bukhari)
3. Manhaj Salafus-Saleh.
a. Umar bin Al Khaththab setiap kali mau mengangkat seseorang untuk menempati jabatan tertentu, terlebih dahulu bertanya kepada Hudzaifah pemegang rahasia Rasulullah saw, jika Hudzaifah merasa keberatan dengan orang itu, maka Umar tidak jadi mengangkatnya, jika Hudzaifah tidak keberatan, maka Umar mengangkatnya.
b. Umar bin Al Khaththab berkata kepada seorang lelaki yang mengaku mengenal seorang lelaki lainnya: “Pernahkah engkau pergi bersamanya? Pernahkah engkau bermuamalah uang dengannya? Orang itu menjawab: “Belum”. Kata Umar, “Berarti engkau belum mengenalnya”.
c. Ada seorang ulama’ hadits yang melakukan perjalanan sangat jauh untuk menemui seseorang yang diduga kuat mengetahui suatu hadits, menjelang sampai di rumah orang yang dituju, dilihatnya orang yang dicarinya itu memanggil binatangnya dengan isyarat akan memberi makan, namun, ternyata tidak memberi makan, maka ulama’ itu meninggalkan orang yang telah lama dicarinya itu dengan alasan, kalau dengan binatang dia berani berbohong, maka tidak mustahil untuk berbohong atas nabi Muhammad saw.
Sebenarnya, penggunaan taqwim dalam bingkai kolektif di masa sekarang, meskipun bersandar pada sebagian acuan jarh wa ta’dil dalam ilmu hadits, hanya saja analogi mutlak tidak selamanya benar karena ada perbedaan substansial. Yaitu, bahwa jarh atau ta’dil dalam ilmu hadits bertujuan untuk mengetahui perawi secara khusus; dari segi tsiqah-nya dan kemampuannya dalam meriwayatkan. Sedangkan dalam taqwim
dakwah, ia bertujuan untuk mengetahui seseorang dari segi kemampuan dan kelemahannya secara garis besar. Secara prinsip, jarh dan ta’dil (di dalam ilmu hadits) pada akhirnya didedikasikan untuk menetapkan kebenaran nash Nabawi, dan implikasinya berupa derajat kelemahan atau keshahihan riwayat.. Sementara itu, taqwim da’awi ditujukan kepada sejumlah tujuan universal dan final bagi aktivitas dakwah.
Manusia dan seluk-beluk keadaannya diketahui melalui berbagai cara. Diantaranya:
a- Kesaksian yang bersifat massal: yakni yang beredar di tengah masyarakat.
b- Pengujian: diberi tanggung jawab, diberi amanah lalu dilihat daya tahan, istiqomah dan kesabarannya serta kekuatannya.
c- Proses taqwim melalui jarh (menilai sisi kelemahan) dan ta’dil (menilai sisi kebaikan).
Tidak diragukan lagi bahwa proses taqwim merupakan salah satu seni mengetahui atau menilai manusia dan keadaan mereka secara umum (yakni bisa dianggap sebagai bagian dari ilmu antropologi). Proses taqwim ini merupakan ilmu Islam autentik yang bermula sebagai salah satu ilmu hadits Nabawi, dan menjadi ciri khas peradaban Islam. Karenanya acuan yang digunakan dalam menilai seseorang adalah sistem nilai yang berasal dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Artinya penilaian baik maupun buruknya seseorang harus mengacu pada apa yang Allah tetapkan tentang muwashofat (karakter/ciri-ciri) orang baik dan apa yang Allah tetapkan tentang orang buruk. Bahkan dengan adanya proses taqwim, penjejangan didalam sekumpulan orang baik bisa dibedakan. Misalnya nilai kebaikan terendah adalah menyingkirkan duri di jalan, sedangkan kebaikan tertinggi adalah mengatakan al-haq dihadapan penguasa dzalim. Diantara keduanya tentu banyak sekali amal-amal yang bernilai baik.
Jadi, aktivitas menilai orang (taqwim) bukanlah hal yang tabu dalam Islam. Malah sebaliknya, Islam telah memberikan arahan bagaimana caranya men-taqwim yang dibenarkan oleh syariat. Upaya taqwim merupakan ikhtiar manusia untuk memilih manusia yang terbaik diantara sekumpulan manusia yang baik. Ia tidak ditujukan untuk men-judge seseorang dalam konotasi negatif. Ia tidak ditujukan untuk merendahkan dan meremehkan orang lain. Upaya taqwim lebih ditujukan untuk memilih orang yang tepat untuk menerima suatu amanah berdasarkan tingkat kapasitasnya, kemampuannya, daya juangnya, daya tahannya, nalarnya, istiqomahnya dan kesabarannya. Upaya taqwim lebih ditujukan untuk memilih orang yang cocok memikul beban dakwah yang semakin berat. Upaya taqwim lebih ditujukan untuk menunjuk orang yang tepat menerima tongkat estafet aktivitas dakwah. Inilah panduan teknis saat akan mempromosikan dan memilih seseorang, seperti ketika saat memilih calon pemimpin dan memilih calon pasangan hidup. Semoga hidayah Allah menuntun kita untuk mampu memilih yang terbaik diantara hamba-hamba-Nya. Amiin. http://beranda.blogsome.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar anda disini